Disusun
Oleh
Fera
Lufhidarani Pranita ( 22210722 )
Irfan
Fathurrahman ( 23210599 )
Nauli
Ernesta Tarigan ( 28210970 )
R.Hudy
Adinurwijaya ( 25210478 )
Randy
Atmana ( 25210627 )
Riesca
Amanda ( 25210927 )
Kelas
: 4 EB 23
Bab
I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Citibank didirikan pada 1812 sebagai Bank
Kota New York. Pada 1894 di menjadi bank terbesar di Amerika Serikat. Pada 1902 dia mulai mengadakan perluasan ke seluruh dunia dan menjadi
bank pertama di AS yang memiliki departemen luar negeri. Pada 1930 dia menjadi bank terbesar di dunia dengan lebih dari
100 cabang di 23 negara. Dia mengubah namanya menjadi The First National City Bank of New York pada 1955, dan kemudian menjadi First National City Bank pada 1962 dan menjadi Citibank pada 1976.
Citibank adalah bank AS pertama yang
memperkenalkan ATM di 1970-an, dalam rangka pengurangan
"teller" manusia dan memberikan akses akun 24-jam. Citibank sekarang
ini adalah konsumen dan perusahaan bank dari jasa finansial raksasa Citigroup, perusahaan terbesar jenisnya di dunia. Citibank
beroperasi di lebih dari 50 negara di dunia. Lebih dari setengah dari 1.400
kantornya berada di AS, kebanyakan di New York, New York, Chicago, Illinois, Miami, Florida, dan Washington, DC, dan juga
di California.
Bank ini juga menawarkan produk asuransi dan investasi. Mereka menawarkan pelayanan online dan merupakan
salah satu yang paling sukses, dengan sekitar 15 juta pengguna.
Citibank, N.A., Indonesia Branch
(“Citibank”) merupakan cabang dari Citibank, N.A. yang berkantor pusat di New
York, U.S.A. Citigroup Inc. (“Citigroup”) sepenuhnya memiliki Citibank,N.A. City
bank pertama kali hadir di Indonesia pada tahun 1918 melalui perusahaan sebelumnya
yaitu, The International Banking Corporation di Batavia dan Surabaya. Walaupun
cabang tersebut sempat ditutup pada tahun 1920an, Citibank kembali hadir di
Jakarta pada tahun 1968 dan menawarkan berbagai layanan perbankan
Global Consumer Group merupakan
salah satu bisnis utama di Citibank Indonesia yang mengelola pelayanan keuangan
pasar konsumen. Terdiri dari 4 kelompok bisnis, yaitu Layanan Perbankan (Retail
Banking), Kartu Kredit, Kredit Tanpa Agunan – Personal Loan dan Citifinancial.
Bab II
Pembahasan
2.1 Alur Kasus Citibank
Kasus pembobolan dana nasbah Citibank senilai Rp 40 miliar oleh
Inong Malinda alias Melinda Dee yang menjabat Relationship Manager Citigold di
bank tersebut merupakan salah satu kasus hukum paling banyak menyita perhatian
masyarakat di tahun 2011. Selain nilai kejahatannya yang cukup fantastis, kasus
ini merembet ke masalah privat karena gaya hidup mewah Melinda bersama suaminya
Andhika Gumilang.
Aset yang dimiliki berupa koleksi mobil mewahnya seperti Hummer,
Mercedes Benz dan Ferrari yang harganya di atas Rp1 miliar. Latar belakang
Andhika yang pernah menjadi artis juga turut menarik perhatian seluruh dunia.
Pembobolan simpanan nasabah oleh Melinda selama kurang lebih tiga
tahun berakhir 23 Maret 2011 setelah delapan penyidik dari Direktorat Ekonomi
dan Khusus Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri menangkap Melinda di
apartemennya di kawasan SCBD, Jakarta Selatan. Tim dari Mabes Polri bergerak
setelah mendapat laporan pihak Citibank pada bulan Januari.
Dalam keterangan saksi di pengadilan terlihat modus yang digunakan
Melinda, yakni dengan menyalahgunakan kepercayaan para nasabah terhadap
dirinya. Oleh Melinda, nasabah-nasabah kaya dan sibuk itu diberikan blanko
kosong untuk ditandatangani agar memudahkan transaksi. Namun ternyata Melinda
mencuri uang tersebut sedikit-demi sedikit tanpa disadari pemilik rekening
melalui persekongkolan jahat dengan bawahannya, Dwi Herawati, Novianty Iriane
dan Betharia Panjaitan selaku Head Teller Citibank.
Jaksa Penuntut Umum mendakwa Melinda melakukan penggelapan dan
pencucian uang dalam kurun waktu 22 Januari 2007 hingga 7 Februari 2011 melalui
117 transaksi, dimana 64 transaksi di antaranya dalam bentuk pecahan rupiah
senilai Rp27,36 miliar dan 53 transaksi senilai 2,08 juta dolar AS.
2.2 Cara penipuan
yang dilakukan oleh Melinda Dee
Guna meraih kepercayaan nasabah, wanita 47 tahun tersebut
terlebih dahulu memperlakukan mereka secara istimewa, misalnya dengan melayani
di ruang khusus di kantor Citibank. Perlakuan ini tidak hanya diberikannya
dalam waktu singkat, tetapi hingga puluhan tahun sampai nasabah sangat percaya.
Dari sini, Melinda secara cermat menelisik pola transaksi nasabah
yang bersangkutan, kemudian mengajukan blanko kosong untuk ditanda tangani.
Blanko inilah yang dia gunakanan untuk menarik dana dengan memerintahkan Dwi
mentransfer uang ke beberapa perusahaan miliknya. Melinda juga menggunakan
surat kuasa dari nasabah, sehingga nasabah seolah-olah datang ke bank untuk
melakukan transaksi.
Untuk mengaburkan bukti kejahatan, Melinda membuat perusahaan
pribadinya yang dialiri dana nasabah Citibank atas nama orang lain. Pada
akhirnya, uang inilah yang digunakannya, antara lain untuk menyicil angsuran
mobil super mewah seperti Ferrari.
Rohly Pateni, salah satu nasabah yang menjadi korban Melinda. Dia
mengaku sangat percaya kepada Melinda karena sudah 18 tahun menjadi nasabah
Citibank dan ditangani Melinda. Dia jarang mengecek rekeningnya karena sibuk
bekerja.
Berdasarkan kesaksian mantan Citigold Executive Head di Citibank
Landmark, Reniwati Hamid, Melinda mengalirkan dana nasabah ke empat perusahaan
miliknya yaitu, PT Sarwahita Global Manajemen, PT Porta Axell Amitee, PT
Qadeera Agilo Resources, dan PT Axcomm Infoteco Centro. Reniwati sendiri
menjabat sebagai Direktur Utma di empat perusahaan yang didirikannya bersama
Melinda, Roy Sanggilawang, dan Gesang Timora tersebut.
Dari keempat perusahaan ini, Melinda kembali menarik uang untuk
kepentingan pribadinya, Andhika maupun adiknya, Visca Lovitasari serta suami
Visca, Ismail bin Janim. Andhika menampung uang curian itu dengan membuka
banyak rekening dengan identitas berbeda karena menggunakan KTP palsu. Dia juga
diseret ke muka pengadilan dengan tuduhan melakukan tindak pidana pencucian
uang dengan menerima dan menampung uang yang diduga hasil tindak pidana istri
sirinya.
Andhika didakwa melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a, b, d, f UU
Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 5 ayat
(1) UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal
65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 263 Ayat (2) KUHP dengan ancaman hukuman maksimal
15 tahun penjara.
Adapun Visca ditetapkan diadili setelah menampung dana dari Melinda
senilai lebih dari Rp 8 miliar, dalam kurun waktu 24 Januari 2007 sampai
tanggal 19 Oktober 2010. Tahap pertama Melinda menyetor sebesar
Rp2.063.723.000. Lalu, Malinda mengirim lagi Rp.5.429.199.000 dan selanjutnya
Rp 66juta, dan terakhir Rp 401.480.000. Jaksa mengatakan, dari tiap transaksi
itu, Visca mendapat imbalan sebesar Rp 5 juta. Sedangkan suaminya, Ismail yang
juga diadili didakwa menampung uang dari Melinda sekira Rp 20,4 miliar sejak
bulan Januari 2010 hingga Oktober 2010 dalam 51 kali transaksi.
Sementara itu, jaksa menjerat Melinda dengan pasal berlapis,
yaitu pasal dalam Undang-Undang Perbankan dan pasal Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang. Pertama, dia dijerat Pasal 49 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan juncto Pasal 55 ayat 1 dan pasal 65 KUHP.
Kedua, Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Pidana Pencucian Uang
juncto Pasal 65 KUHP. Ketiga, Pasal 3 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat
1 KUHP. Ancamannya adalah 15 tahun penjara.
Fakta lain yang cukup menarik adalah keterlibatan Wakil
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Marsekal Madya TNI Rio Mendung
Thalieb. Dia menjadi Komisaris Utama PT Sarwahita Group Managemen, namun
mengaku tak melakukan bisnis dalam perusahaan tersebut. Tidak jelas apakah
pengakuan ini benar atau tidak karena tidak pernah ada pemeriksaan terhadap
yang bersangkutan.
Yang belum terungkap dari kasus tersebut adalah identitas dan
latar belakang nasabah yang ditangani Melinda yang kabarnya mencapai puluhan
orang. Sebab, yang melapor ke polisi hanya tiga orang. Semula, banyak pihak
berharap seluruh nasabahnya melapor sehingga di sisi lain juga bisa ditelisik
apakah ada di antaranya pejabat negara sekaligus mencari tahu darimana sumber
uang itu.
Selain menjerat Melinda, Andhika, Visca, dan Ismail, polisi juga
menyeret rekan kerja Melinda yakni Reniwati Hamid, RJ selaku Cash Official
Manajer atau atasan teller, dan SW selaku Cash Supervisor Manager. Mereka
menyusul Dwi Herawati binti Harno Wijoyo, Novianty Iriane binti Emon, dan
Betharia Panjaitan yang lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka dan tengah
menjalani persidangan dengan tuduhan turut membantu perbuatan Melinda.
Kasus ini masih akan berlanjut di tahun 2012 karena semua terdakwa
masih menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Belum satu
pun dari mereka yang dijatuhi vonis oleh hakim. Proses persidangan bisa saja
berlanjut hingga beberapa tahun ke depan jika persidangan berlanjut ke tingkat
Mahkamah Agung.
Bab III
Kesimpulan
Terlihat dari kasus tersebut dapat
disimpulkan bahwa kasus tersebut sudah melanggar kode etik perbankan yang dapat
merugikan pihak nasabah. Hubungan antara bank
dengan nasabahnya ternyata tidaklah seperti hubungan kontraktual biasa, tetapi
dalam hubungan tersebut terdapat pula kewajiban bagi bank untuk tidak membuka
rahasia dari nasabahnya kepada pihak lain mana pun kecuali jika ditentukan lain
oleh perundang-undang yang berlaku. Menurut pasal 1 angka 28 undang-undang
perbankan, yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
3.1 Analisa Dari Segi
Perbankan
Kasus ini tentunya
bisa menimbulkan kerugian dan dampak buruk bagi dunia perbankan Indonesia serta
Citibank itu sendiri khususnya pada manajemen likuiditasnya. Manajemen
likuiditas adalah Kemampuan manajemen bank dalam menyediakan dana yang
cukup untuk memenuhi semua kewajibannya maupun komitmen yg telah dikeluarkan
kpd nasabah serta pengelolaan atas reserve requirement (RR) atau Primary
reserve atau Giro wajib minimum sesuai ketentuan BI, dan secondary reserve.
Resiko yang dapat timbul apabila gagal dalam manajemen likuiditas adalah resiko
pendanaan dan resiko bunga.
Bisa dikatakan bahwa
implikasi negatif dari kasus ini, Jika Citibank tidak bisa atau tidak memiliki
kemampuan dalam menyediakan dana yang cukup untuk memenuhi semua kewajibannya
maupun komitmen yang telah dikeluarkan nasabah sebab penggelapan dana oleh
Malinda Dee ini maka Citibank bisa saja dilikuidasi oleh Bank Indonesia serta
hilangnya trust atau kepercayan nasabah dan masyarakat kepada Citibank pada
khususnya dan perbankan indonesia pada umumnya. Informasi baru, Citibank
mengkonfirmasikan ke masyarakat bahwa pihak Citibank menjamin uang nasabah dan
aman.
3.2 Analisa
Dari Segi Politik dan Sosial
Media berpengaruh besar
dalam membentuk main set pola pikir masyarakat. Yang terjadi saat ini media
dapat dipesan untuk mengabarkan suatu berita dan fokus pada berita tersebut
dalam jangka waktu yang sudah ditentukan yang memang sengaja untuk membuat
masyarakat lupa dengan kasus besar yang sudah terlanjur menjadi berita besar
sebelumnya. Jika kita peka mengamati situasi nasional, maka kasus Malinda dee
ini merupakan isu turunan untuk menutupi kasus besar yang pernah terjadi dan
diberitakan sebelumnya, sebut saja kasus talangan dana Bank Century dan
beberapa kasus lainnya yang memang sedang menyudutkan pemerintah Indonesia
sekarang ini.
3.3 Analisa
Dari Segi Hukum
Pencucian uang adalah
suatu proses atau perbuatan yang bertujuanuntuk menyembunyikan atau menyamarkan
asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang
kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah dari kegiatan yang sah.
Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
PidanaPencucian Uang, tindak pidana yang menjadi pemicu terjadinya pencucian
uang meliputi korupsi, penyuapan, penyeelundupan barang/tenaga kerja/imigran,
Perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak/wanita/anak/senjata
gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, dan penipuan.
Dengan sudah dikeluarkannya
UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ini, tindak pidana
pencucian uang dapat dicegah atau diberantas, antara lain kriminalisasi atas
semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian uang yang terdiri atas:
- Penempatan (placement) yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat, deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan
- Transfer (layering) yakni upaya untik mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lai. Dilakukannya layering, membuat penegak hukum sulit untuk dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut
- Menggunakan harta kekayaan (integration) yakni upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangna melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
Pelaku dijerat pasal 49 ayat 1 dan 2
UU No 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No 10 tahun 1998 tentang
perbankan dan atau pasal 6 UU No 15 tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No
25 tahun 2003 sebagaimana diubah dengan UU no 8 tahun 2010 tentang tindak
pidana pencucian Uang dan pastinya pelaku dikenakan sanksi berupa denda dan
hukuman penjara.